Merayakan Kartinisme

                               MEMPERINGATI HARI KARTINI
“…Barang siapa tidak berani, ia tak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia! Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.” (Kartini)
Mari kita sejenak mengenang figur Kartini, namun bukan tertungkus-lumus pada perspektif domestik rumah tangga, seperti dia sebagai gadis pingitan lantas dinikahkan secara paksa lalu melahirkan dan tutup usia. Coba singkirkan sejenak kenangan itu dan alihkan pikiran kepada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, meninju kesepian karena pingitan, menangkis arus kekuasaan penjajahan dari dinding tebal kotak bui kabupaten yang memasung kebebasannya bertahun-tahun.
Kartini tak memiliki massa, apalagi uang. Uang tak karib dengan perempuan hamba seperti dirinya. Namun, yang Kartini punyai adalah kepekaan dan keprihatinan. Itulah yang ia tulis sebagai buncahan dari perasaannya begitu tertekan. Dan hasilnya dahsyat! Selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan hingga ke negeri asal dan akar segala kehancuran masyarakat Bumiputera.
061358200_1429613963-medium_6-fakta-ra-kartini-yang-mengejutkan-26bb56






Tulisan (berupa surat-surat) Kartini ini kemudian dikumpulkan, disunting dan diterbitkan menjadi buku oleh Mr. J.H. Abendanon berjudul Door duisternis tot licht: Gedachten over en voor het Javaansche Volk van wijlen R.A. Kartini (“Habis Gelap Terbitlah Terang”) pada 1912 di Den Haag, Belanda. Habis Gelap Terbitlah Terang sukses menumbuhkan kesadaran kritis akan situasi yang terbelakang, karena konservatisme dan kolonialisme, serta di samping itu juga menabalkan harapan-harapan modernitas dan penuh semangat idealisme ihwal rakyat Hindia Belanda. Kontak-kontak yang kuat dengan dunia Barat melalui sekolah-sekolah, buku-buku bacaan, dan hubungan sosial-lah yang membakar idealisme ini.
Kartini, Sumber Ilham yang Tak Pernah Kering
Riwayat Kartini telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Hidupnya penuh warna. Selain kepribadiannya, hidupnya yang sarat dengan kepelikan pun merupakan cerminan yang selalu kontekstual. Kecerdasannya luar biasa. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda, kepekaan batin, serta kemampuan imajinasinya, telah menampilkan sosok Kartini sebagai intelektual yang (selalu) gelisah. Dia adalah jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita kesengsaraan. Kartini sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ingin memulai kebangkitan itu.
Meskipun Kartini tidak mengadakan pergerakan perempuan–karena hanya sebagai perorangan mengemukakan pendapat-pendapat pribadi saja–surat-surat Kartini itu perlu mendapat perhatian. Pada diri Kartini telah terdapat api nasionalisme. Kebenaran ini dapat kita buktikan dengan kutipan dari dua surat Kartini. Yang pertama, tentang harapan Kartini agar monopoli penjualan candu oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dihapuskan, karena penghisapan candu dipandangnya sebagai hal yang melemahkan kesehatan rakyat bumiputera. Yang kedua, mengenai tawaran beasiswa kepada Kartini untuk melanjutkan pelajarannya ke Belanda.
Seperti kita tahu, tawaran itu ditolak dengan alasan bahwa pada waktu itu perempuan nusantara tak bisa melanjutkan pendidikan, namun ia menganjurkan agar pemerintah Hindia Belanda lebih banyak memberi kesempatan kepada para pemuda bumiputera untuk melanjutkan pelajaran di luar negeri, karena hal ihwal itu tidak semata-mata demi kepentingan pemuda itu sendiri, tetapi demi kepentingan seluruh bangsa.

Kartini

Mulanya Perkumpulan dari Semangat Kartini
Pada 3 September 1912, delapan tahun pasca-Kartini meninggal dunia, Dokter Cipto Mangunkusumo mendirikan studieclub dengan nama Kartini di kota Malang. Tidak lupa alasan Cipto Mangunkusumo menggunakan nama Kartini bagi studieclub-nya. Mungkin bagi masyarakat saat ini, pemberian nama yang demikian agak ganjil karena nama Kartini telah menjadi monopoli perkumpulan-perkumpulan perempuan.
Bagi Cipto Mangunkusumo, bahwa tujuan Kartini bukan semata-mata untuk menggalang suatu gerakan perempuan, melainkan untuk membangkitkan rakyat Indonesia yang tertidur berabad-abad lamanya. Nama Kartini diperuntukkan sebagai lambang nasionalisme dan cita-cita mulia. Ia adalah pembangkit kesadaran nasional. Oleh karena itu, nama Kartini ditahbiskan sebagai nama studieclub, yang anggotanya bukan perempuan saja, melainkan sebagian besar adalah lelaki.
Apa yang digagas oleh Cipto Mangunkusumo sebagai seorang nasionalis, yang sukar dicari tandingannya hingga sekarang, adalah keyakinan bahwa Kartini memang sudah mempunyai nasionalisme dan memunyai cita-cita nasional. Jadi sebenarnya, nasionalisme itu telah bangkit pada hati nurani Kartini. Peristiwa itu mendahului terbentuknya perkumpulan Budi Utomo. Meskipun demikian, Kartini tidak lantas mendirikan suatu organisasi demi perbaikan kehidupan nasional; nasionalisme yang hidup dalam kalbunya mendorong pribadi Kartini untuk diserukan kepada rakyat umumnya dan untuk para perempuan, khususnya melalui surat-surat pribadinya. Kesadaran nasionalnya menjelma sebagai cita-cita demi kebahagiaan bangsa.
Kartini berseru agar kaum perempuan bumiputera untuk mencari pengetahuan di ruang sekolah, mencari kepandaian yang cukup untuk mencapai derajat yang laik. Seruan Kartini tidaklah sia-sia. Di Jawa Barat, ada seorang perempuan yang bernama Dewi Sartika. Orang ini giat melaksanakan anjuran Kartini. Dia dikenal sebagai Kartini Pasundan. Juga dalam hati nurani Dewi Sartika ini, telah bangkit kesadaran nasional, namun usaha-usahanya masih terbatas sampai pada bidang sosial. Pada hakikatnya, nasionalisme tidaklah identik dengan politik menentang kuasa penjajahan. Politik menentang penjajahan hanyalah salah satu dari manifestasi nasionalisme. Yang pokok adalah usaha untuk ikut serta memajukan bangsa Indonesia.
Perkumpulan-perkumpulan perempuan Indonesia semula juga bersifat apolitis; tidak ikut mencampuri soal politik. Perkumpulan perempuan yang pertama didirikan di Jakarta pada 1912 bernama Putri Mardika. Perkumpulan Putri Mardika bertujuan untuk memajukan pendidikan anak-anak, terutama anak-anak perempuan. Kemudian menyusul pelbagai perkumpulan perempuan lainnya. Di antaranya terdapat perkumpulan-perkumpulan perempuan yang berdiri sendiri dan ada pula perkumpulan perempuan yang menjadi bagian dari partai politik atau perkumpulan lainnya yang anggotanya kaum laki-laki.
Organisasi Wanita Zaman Pergerakan Nasional

Perkumpulan perempuan yang terakhir ini merupakan perkumpulan atau gerakan nasional bagian perempuan. Ada Partai Sarekat Islam bagian perempuan, Jong Islamieten Bond bagian perempuan, Jong Java bagian perempuan, Muhammadiyah bagian perempuan (Aisyah), Nahdlatul Ulama bagian perempuan (Muslimat dan Fatayat), dan lain-lain. Dengan sendirinya, aliran politik yang dianutnya sama dengan aliran politik perkumpulan induknya. Meskipun demikian, sifat sosial-ekonomis itu lambat laun hilang pasca perkumpulan perempuan itu menjadi bagian dari gerakan nasional.
Semula, para anggota perkumpulan perempuan itu juga berkutat untuk merundingkan soal-soal yang bersifat sosial. Tentang itu nyata pada perkumpulan Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Utomo, dan lain-lain. Dalam perkumpulan Wanita Katolik misalnya, banyak dibahas soal-soal sumbangan kaum perempuan terhadap gereja, pengumpulan derma, usaha mengadakan pasar amal, dan lain-lain.
Soal-soal yang demikian itulah yang semula mendapat perhatian dalam perkumpulan-perkumpulan perempuan. Sejak timbulnya gagasan pembentukan barisan kulit berwarna untuk dihadapkan kepada pemerintah kolonial, sifat perkumpulan perempuan ikut berubah. Perkumpulan perempuan terbawa arus politik.
Jika pada 17 Desember 1927 partai-partai politik yang merupakan gerakan nasional, bergabung dalam badan politik Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), maka pada 22 Desember 1928 perkumpulan-perkumpulan perempuan yang mengadakan kongres di kota Yogyakarta juga bergabung dalam satu badan federatif yang bernama Perserikatan Perempuan Indonesia. Sejak 1929, nama Perserikatan Perempuan Indonesia diganti menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia. Kongres Perempuan yang pertama diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di kota Yogyakarta. Penyelenggaranya adalah perkumpulan Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, Serikat Islam (bagian perempuan), Jong Islamieten Bond (bagian perempuan), Jong Java (bagian perempuan), dan Wanita Taman Siswa. Tanggal 22 Desember merupakan tanggal fusi perkumpulan perempuan seluruh Indonesia, yang kemudian pasca Indonesia merdeka dijadikan sebagai Hari Ibu. Pada hakikatnya, tanggal 22 Desember 1928 adalah hari kelahiran kesadaran nasional dalam perkumpulan kaum perempuan.
Dua tahun kemudian, dalam kongres tahun 1930, diputuskan bahwa gerakan perempuan merupakan bagian dari gerakan nasional. Sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing, kaum perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa. Keputusan itu bagi beberapa perempuan seperti, misalnya, Sarekat Islam bagian perempuan merupakan sesuatu yang baru. Sarekat Islam bagian perempuan sudah merupakan bagian partai politik. Para anggotanya yakin, bahwa mereka wajib membantu suaminya dalam memerjuangkan nasib bangsanya. Akan tetapi, bagi perkumpulan-perkumpulan perempuan yang semata-mata bergerak dalam bidang sosial, keputusan itu benar-benar merupakan sesuatu yang baru.
Dalam perjuangan nasional, perempuan wajib membantu laki-laki untuk mengangkat martabat nusa dan bangsa. Gerakan perempuan wajib menjadi bagian dari gerakan nasional. Badan gabungan terdiri pelbagai unsur yang masing-masing memertahankan wataknya. Keputusan Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia tidak sekaligus merombak watak perkumpulan perempuan yang semata-mata memerhatikan kepentingan sosial. Badan gabungan yang terdiri dari 25 perkumpulan tidak kompak dalam tindakannya. Meskipun demikian, secara resmi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia adalah organisasi politik.
Kongres Perempuan Indonesia kedua berlangsung di Jakarta pada 20-24 Juli 1935, atas prakarsa Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.
Salah satu keputusan yang diambil dan dianggap penting sebagai penetapan penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia (KPI) adalah setiap tiga tahun sekali. Selain itu, kongres menetapkan pula dasar sementara KPI, yakni nasionalisme, sosialisme, dan keperempuanan. Dasar itu sangat logis mengingat suasana zamannya. Ditegaskan, bagaimanapun tiap perempuan Indonesia terutama harus menjadi perempuan negaranya. Maksudnya adalah bahwa tiap perempuan Indonesia wajib memiliki kesadaran nasional dan memafhumi panggilannya untuk ikut serta dalam pembentukan bangsa Indonesia baru.
Arkian, Kartini tak dikaruniai Tuhan usia panjang. Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi, umur yang pendek itu sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia mahsyur sebagai sebuah protes, bahkan Kartini menjadi pioner untuk meneriakkan pelbagai tuntutan nan keras dan sarkastis. Suaranya yang revolusioner berdentum menembus ruang dan waktu yang luas nan panjang. Bahkan pada akhirnya ia telah menjadi bagian dari sejarah sebuah bangsa bernama Indonesia. (Foto: Kata Ilmu, Berdikari, Radar Indo). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rp10.000 Bakal Jadi Rp10.

CERITA RAKYAT-KEONG MAS

Timun Mas